Jumat, 10 September 2010

Tasbih, Cinta dan Kehidupan

Sebuah tasbih adalah sebuah kehidupan. Berawal dan berakhir dititik yang sama. Bukan tasbih namanya, jika hanya terdiri dari satu butir. Bukan kehidupan namanya jika hanya satu dimensi. Kehidupan akan sempurna dan indah bila telah melewati serangkaian untaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal, sukses, pasang dan surut.
Untuk melewati semua itu, dibutuhkan keberanian, kesabaran, kekuatan dan perjuangan untuk terus meniti, berjalan dan mendaki. Sebab, seperti tasbih yang melingkar, kehidupan pun demikian. Kemana pun akan pergi dan berlari, tetap masih dalam lingkaran takdir Allah. Dari-Nya, kehidupan dimulai dan kepada-Nya akan berakhir.
Mungkin itulah yang kemudian tasbih identik dengan dzikir, mengingat Allah. Tasbih menjadi tanda kesalehan, kedekatan hamba dengan Allah. Namun demikian, sebenarnya tasbih juga identik sebagai penanda perjuangan dan semangat, gambaran kehidupan sejati.

Begitu juga cinta, akal manusia terlalu picik jika mengira tasbih hanya cocok untuk mereka yang dekat dengan maut, itu salah. Dalam jiwa yang selalu bergerak, tasbih adalah wakil jiwa yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti, pantang menyerah, tidak mengenal putus asa, untuk meraih yang lebih tinggi.
Bahwa hidup adalah karunia yang paling berharga untuk makhluk bernama manusia. Maka, jangan harap cinta, bila engkau tidak memiliki keberanian. Jangan memeluk cinta, bila takut gagal, kecewa,dan sakit hati. Semua ini adalah paket yang akan ditemukan oleh siapa pun dalam meraih cinta.
Cinta, bisakah kita memahami cinta melalui benda ini (tasbih)? Mengapa tidak.
Cinta adalah sisi lain yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Tasbih adalah keutuhan yang disingkat pada sebuah simpul. Hal itu dilakukan agar butiran-butiran kecil dapat menyatu, saling bertautan, seimbang, dan bila dilihat akan tampak indah. Cinta juga akan menjadi indah jika diterima sebagai sebuah keutuhan. Mencintai adalah aktivitas berat yang membutuhkan keberanian untuk menerima yang dicintai dengan utuh. Sisi kelebihan, sudah pasti menerimanya. Tapi, bagaimana dengan sisi lainnya yang pasti ada? Kelemahan dan kekurangan. Semudah itukah kita akan menerimanya?
Agar cinta juga menjadi abadi dan kuat, dibutuhkan kesediaan dua ujungnya untuk diikat dalam satu simpul yang kokoh. Tanpa ikatan, tanpa simpul, cinta akan terburai menjadi butiran-butiran egoism yang tercerai berai. Bila demikian, bisakah cinta dipandang sebagai sebuah keindahan?. Bahkan, apakah bisa disebut cinta, bila untuk saling berdekatan hati saja sudah tidak mampu?

Dikutip dari buku �derap-derap tasbih� Hadi S. Khuli
Cairo,senja 4 april 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar